Rabu, 10 Agustus 2016

Rumah Tangga Yang Islami

Didirikan atas dasar ibadah
Rumah tangga didirikan dalam rangka ibadah kepada Allah, dari proses pemilihan jodoh, pernikahan (akad nikah, walimah) sampai membina rumah tangga tidak boleh ada unsur kemaksiatan atau yang tidak islami. Sebagaimana tugas kita di muka bumi ini yang hanya untuk mengabdi/beribadah kepada Allah, maka pernikahan ini pun harus diniatkan dalam rangka tersebut.
Terjadi internalisasi nilai Islam secara kaffah (menyeluruh)
Dalam rumah tangga islami segala adab-adab islam dipelajari dan dipraktekan sebagai filter bagi penyakit moral di era globalisasi ini. Suami bertanggung jawab terhadap perkembangan pengetahuan keislaman dari istri, dan bersama-sama menyusun program bagi pendidikan anak-anaknya. Saling tolong-menolong dan saling mengingatkan untuk meningkatkan kefahaman dan praktek ibadah. Oleh sebab itu suami dan istri seharusnya memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang Islam.
Sabda Rasulullah saw: “Semoga Alloh merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah).
Adanya pembagian tugas yang sesuai dengan syariat
Islam telah memberikan hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Firman Allah swt: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nisa’ 32)
Suami atau istri harus faham apa kewajiban dan haknya, sehingga tidak terjadi pertengkaran karena masing-masing hanya menuntut haknya terpenuhi tanpa melakukan kewajibannya.
Firman Allah swt: “Dan hak-hak mereka sebanding dengan kewajiban-kewajiban mereka. Akan tetapi para suami, mempunyai satu derajat lebih tinggi dari isterinya” (QS al-Baqarah 228)
Islam telah mengatur keseimbangan hak dan kewajiban ini, apa yang menjadi kewajiban suami adalah hak istri, dan begitu pula sebaliknya. Kewajiban suami tidak bisa dilakukan secara optimal oleh istri, begitu pula sebaliknya.
Tercukupinya kebutuhan materi (sandang, pangan, papan) secara wajar
Suami harus membiayai kelangsungan kebutuhan materi keluarganya sesuai kemampuannya, karena itu merupakan salah satu tugas utamanya.
Firman Allah swt: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.” (QS al-Baqarah 233)
Sabda Rasulullah saw: “Cukuplah seseorang itu berdosa apabila ia menelantarkan anggota keluarganya”(HR Imam Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Namun Sahabat Ummi tidak boleh menuntut lebih dari pendapatan halal sebatas kemampuan sang suami.
Firman Allah swt: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS ath-Thalaq 7)
Terciptanya hubungan mesra, saling pengertian dan tenggang rasa antara suami istri
Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau pribadinya. Begitu juga sebaliknya. Jika salah seorang dituntut untuk melakukan segala sesuatu sendiri maka ia akan buntu. Tidak boleh terlalu keras ataupun berlebihan dalam menegur dan meluruskan yang salah, karena itu berarti membengkokkannya dan berarti menceraikannya.
Rasulullah saw bersabda: “Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik.” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim)
Masing-masing harus menyadari dan bisa memaklumi kelemahan yang lain, dan mesti bersabar untuk menghadapi pasangannya.Seorang suami seyogyanya tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali. Begitupun sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar